Berawal dari berita yang beredar di media Indonesia bahkan sampai Malaysia tentang punk, saya jadi tertarik untuk share. Berbagi cerita sewaktu awal-awal saya mulai menerima gaji. Setahun pertama kali kerja di pinggir jalan, di depan kampus terbesar di kota kecil Salatiga. Cerita waktu saya belum kenal dengan yang namanya email. Cerita masa lalu sekitar tahun 2005 atau 2006 (agak lupa). Lokasi berjualan dekat dengan jalan lampu merah, jalan besar pula. Lokasi yang memang biasanya dijadikan mangkal anak-anak punk untuk ngamen.
Karena hampir setahun hampir setiap hari kami bertemu, secara otomatis saya sedikit kenal dengan beberapa dari anak punk. Cuma kenal aja, bukan sebagai teman dekat apalagi sahabat. Ada 3 orang yang saya cukup kenal waktu itu. Pertama Hoho' (bukan nama sebenarnya), punk yang lama tinggal di Salatiga. Dikenal dengan penunggu kantin kampus. Banyak cewek kampus yang kenal dengannya. Kerjaannya parkir di depan kampus, di depan saya berjualan. Yang kedua, Ucil (bukan nama sebenarnya juga). Kalau dia bukan asli Salatiga tapi waktu itu sering di Salatiga. Sama seperti Hoho', jarang mandi dan ganti pakaian. Ucil ini seperti punk-punk yang saya temui di pinggir jalan lainnya. Dia kadang ke luar kota bersama punk lainnya. Kerjaannya ngamen di warung-warung depan kampus dan kadang di lampu merah (sekitar 50m dari gerbang kampus) dengan lagu wajib Punk Rock Jalanan. Yang ketiga, Amed (bukan nama sebenarnya). Kerjaannya bersama Hoho' jaga parkir (ilegal) di depan kampus. Dia juga dipasrahi beberapa pedagang untuk bongkar/pasang tenda tempat berjualan. Yang membuat beda Amed dari punk lainnya adalah dia sudah punya istri (entah itu istri sah atau tidak), punk juga.
Walaupun tidak semua punk itu gembel atau bahasa jawanya kemproh, tapi dari beberapa punk yang keluar masuk situ, semua hampir sama. Seperti yang kita tahu, tindikan, jarang mandi dan ganti pakaian. Kegiatannya ngamen dan mabuk. Kalau dalam 1 rombongan punk ada ceweknya biasanya lebih seru kalo pas malam, kecuali kalo udah ada pasangannya (seperti Amed tadi). Hasil ngamen biasanya untuk makan bersama, sisanya untuk mabuk bersama. Yang saya ketahui dari obrolan kami adalah, anak punk itu anti kemapanan. Maksudnya anti terhadap aturan yang sudah mapan (mungkin termasuk aturan ortu). Karena anti aturan, mereka menjunjung tinggi kebebasan sehingga bebas melakukan apa saja. Tapi sebatas yang saya tahu mereka tidak mencuri dan memaksa ketika mengamen, tidak seperti preman pasar. 3 kata yang saya tangkap dari mereka adalah kemproh, alkohol dan freesex. Tapi sekali lagi, itu yang saya tahu dan katanya tidak semua punk di Indonesia seperti itu.
Beredarnya berita di media tentang komunitas punk yang tidak diperbolehkan di Aceh menimbulkan beberapa pendapat. Ada yang setuju punk dilarang bukan hanya di Aceh saja, ada yang mengutuk anak punk, ada juga yang menyalahkan pemerintah dengan alasan hak asasi manusia (HAM). Ada yang bilang mereka tidak melakukan tindakan kriminal. Mereka tidak mencuri dan malak (minta paksa). Secara kasat mata memang mereka tidak melakukan tindakan kriminal, tapi secara tidak langsung mereka telah merusak pikiran dan akal. Apalagi remaja yang pikirannya masih labil ditambah kurangnya pendidikan dan kasih sayang orang tua ketika melihat anak punk akan lebih mudah untuk terpengaruh mengikuti gaya mereka. Bagaimana jika anak kita mengikuti gaya hidup mereka? mau? *Na'udzubillahi min dzalik
Atas dasar hak asasi manusia ada yang bilang mereka tidak bersalah. Jika mereka berhak dengan gaya mereka yang berbeda, kita juga berhak bebas dari bau alkohol, bebas dari pemandangan gaya hidup yang menyimpang, dan pemerintah juga berhak untuk mengatur rakyatnya. Hak kita sebagai manusia itu dibatasi juga oleh hak orang lain. Jadi sebelum menuntut hak kita, lihat dulu apakah kewajiban kita sudah terpenuhi seutuhnya? Punk juga manusia, memiliki hak dan kewajiban.
Gak benar lo
BalasHapus